Rabu, 21 Oktober 2015

MEDIA PROFILE
MAJALAH TEMPO (MEDIA CETAK)

SEJARAH BERDIRINYA MAJALAH TEMPO


Majalah mingguan ini terbit perdana pada April 1971, dengan berita utama mengenai cedera parah yang dialami Minarni, pemain badminton andalan Indonesia di Asean Games Bangkok, Thailand. Dimodali Rp 20 juta oleh Yayasan Jaya Raya milik pengusaha Ciputra; digawangi oleh mereka para seniman yang mencintai pekerjaannya dan para wartawan berpengalaman yang dipecat atau keluar dari tempat kerja sebelumnya: Ekspress, Kompas, dan lainnya.

Para seniman dan wartawan itu adalah Goenawan Mohamad (Ketua Dewan Redaksi), Bur Rasuanto (Wakil Ketua), Usamah, Fikri Jufri, Cristianto Wibisono, Toeti Kakiailatu, Harjoko Trisnadi, Lukman Setiawan, Syu’bah Asa, Zen Umar Purba, Putu Wijaya, Isma Sawitri, Salim Said, dan lainnya. Satu orang kepercayaan dari Yayasan Jaya Raya juga turut serta mengelola Tempo, yaitu Eric Samola.

Mengapa bernama Tempo? Pertama, singkat dan bersahaja, enak diucapkan oleh lidah orang Indonesia dari segala jurusan; kedua, terdengar netral, tidak mengejutkan dan tidak merangsang;ketiga, bukan simbol sebuah golongan, dan keempat, Tempo adalah waktu.

Tempo meniru Time? Benar Tempo meniru waktu, selalu tepat, selalu baru. Kalimat ini diiklankan Tempo pada terbitan 26 Juni 1971 guna menjawab surat seorang pembaca yang berkesimpulan bahwa Tempo telah meniru Time. Kesimpulan yang wajar melihat sepintas cover Tempo memang mirip Time: segi empat dengan pinggiran merah. Bahkan, pada 1973, Time menggugat Tempo melalui pengacara Widjojo, namun akhirnya dapat diselesaikan dengan damai.

Edisi pertama Tempo laku sekira 10.000 eksemplar. Disusul edisi kedua yang laku sekira 15.000 eksemplar. Progress penjualan oplah ini menepis keraguan Zainal Abidin, bagian sirkulasi Tempo,yang menganggap majalah ini tidak akan laku. Selanjutnya, oplah Tempo terus meningkat pesat hingga pada tahun ke-10, penjualan Tempo mencapai sekira 100.000 eksemplar.

Dalam perjalanannya, terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh Tempo antara Goenawan dengan Bur. Keduanya memiliki perbedaan ide dasar. Goenawan ingin Tempo bergaya tulis feature (bercerita), sedangkan Bur cenderung ke news. Keduanya pun sering berbeda paham dan saling bertolak pendapat. Puncaknya pada saat Bur melemparkan air kopi ke arah Goenawan. Tindakan yang dianggap kelewatan oleh Goenawan hingga dia meminta kepada Eric Samola untuk memutuskan, apakah dia yang keluar atau Bur. Akhirnya Bur yang mengundurkan diri dari Tempo.

Tempo Go Public
Pada 6 Nopember 2000, Tempo menjadi media pertama yang masuk bursa saham (go public). Nama PT Arsa Raya Perdana diganti menjadi PT Tempo Media Inti supaya mudah dikenali. Pada penawaran perdananya, Tempo menawarkan 200 juta saham dan 100 juta warran guna maraup dana segar Rp 75 milliar.

Dana segar tersebut 60% akan digunakan untuk mendirikan Koran Tempo, 25% untuk pelunasan utang anak perusahaan, dan 15% untuk penambahan modal kerja. Kalau semuanya berjalan lancar, Tempo juga berambisi untuk mendirikan radio, televisi, dan kantor berita.
Setelah go public, komposisi kepemilikan saham di Tempo berubah: PT Grafiti Pers: 16,6%, Yayasan Jaya Raya: 24,8%, Yayasan 21 Juni 1994: 24,8%, Yayasan Karyawan Tempo: 16,6%, dan publik: 17,2%.

Pada 2 April 2001, ketika umur Tempo menginjak 30 tahun, diterbitkanlah Koran Tempo. Kehadiran Koran Tempo bertujuan untuk mengembalikan prinsip-prinsip jurnalistik harian yang terabaikan: cepat, lugas, tajam, dan ringkas. Nama Tempo sengaja digunakan pada Koran Tempountuk meraih pangsa pasar. Koran Tempo berusaha meraih pembaca yang masih terbuka lebar, bersaing dengan Kompas, Republika, dan Media Indonesia. Hasilnya luar biasa, di Jakarta, Koran Tempo berhasil menjadi peringkat kedua di bawah Kompas. 

DATA TEKNIS
Dengan oplah cetak 180.000 eksemplar Majalah TEMPO kini menguasai 68% pasar majalah berita mingguan, 73% pembaca MAJALAH TEMPO sudah berkeluarga dengan 57.5% menghuni rumah milik sendiri yang rata-rata mereka mapan secara ekonomi (65%). Segmentasi A1 golongan umur 35 – 55 th menempati posisi teratas dengan 63.000 pembaca dari total 620.000 pembacanya. Sebagian besar dari mereka adalah profesional yang menempati posisi sebagai eksekutif muda, pemilik perusahaan, CEO, dan Top Management.


PROFILE PEMILIK MAJALAH TEMPO
     Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Batang29 Juli 1941; umur 74 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Ia merupakan adik dari Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.
Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang memiliki pandangan yang liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.
            Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas 6 SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya yang dokter, ketika itu berlangganan majalah Kisah asuhan H.B Jassin. Goenawan yang biasanya dipanggil Goen, belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan menjadi Nieman Fellow di Harvard UniversityAmerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak. 
     Karier GM, panggilan singkatnya, dimulai dari redaktur Harian KAMI (1969-1970), redaktur Majalah Horison (1969-1974), pemimpin redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi Majalah Swasembada (1985). Dan sejak 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia.Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah, sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.
Goenawan Mohammad awalnya berharap bisa membangkitkan Tempo lagi lewat PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), di mana ia menjadi salah satu anggota. Setelah PWI yang terkooptasi rezim Soeharto ternyata tak bisa diandalkan, Goenawan kemudian mendukung inisiatif para jurnalis muda idealis yang mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Soeharto diturunkan pada tahun 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian Koran Tempo.
Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohammad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tommy Winata. Pernyataan Goenawan Mohammad pada tanggal 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Artha Grahaitu.
Selepas jadi pemimpin redaksi majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goenawan praktis berhenti sebagai wartawan. Bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tapi dalam revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama dipentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York. Pada tahun 2006Pastoral, sebuah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006. Pada tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama tari Kali-Yuga bersama koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut beserta Gamelan Sekar Jaya di BerkeleyCalifornia. Dia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.

RATE CARD MAJALAH TEMPO

Harga
Diskon

Rp. 78.000.000
20%
Rp. 126.500.000
20%
Rp. 121.000.000
20%
Rp. 35.000.000
20%
Rp. 59.000.000
20%
Rp. 25.000.000
20%
Rp. 45.000.000
20%
Rp. 13.000.000
20%
Rp. 25.000.000
20%
Rp. 42.000.000
20%
Rp. 58.000.000
20%
Rp. 102.000.000
20%
Rp. 26.500.000
20%
Rp. 32.000.000
20%
Rp. 140.000.000
20%
Rp. 82.500.000
20%
Rp. 81.500.000
20%
Rp. 93.500.000
20%
Rp. 69.500.000
20%
Rp. 90.000.000
20%
Rp. 115.000.000
20%
Rp. 144.000.000
20%
Rp. 316.500.000
20%
Rp. 276.000.000
20%
Rp. 94.000.000
20%
Rp. 101.000.000
20%
Rp. 98.000.000
20%
Rp. 95.000.000
20%
Rp. 23.500.000
20%


ANALISA MEDIA

                Sejak awal kemunculan, majalah Tempo ini sudah sangat mencuri perhatian masyarakat dengan ciri khasnya yang lebih berani. Contohnya pada Tempo edisi 10 Februari 2008, sampul Tempo yang bergambar mantan presiden Soeharto (almarhum) bersama anak-anaknya di meja makan dinilai melecehkan simbol kudus umat kristiani, khususnya Katolik di Indonesia. Gambar sampul berjudul Setelah Dia Pergi tersebut, mirip format lukisan perjamuan terakhir Yesus pada murid-muridnya, yaitu The Last Supper, karya Leonardo Da Vinci.



Sejumlah perwakilan organisasi Katolik tingkat nasional mendatangi kantor Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Mereka menilai lukisan sakral itu telah dianalogikan Tempo dengan keluarga mantan penguasa Orde Baru, yang di mata masyarakat berlumuran kasus KKN. Umat Katolik meminta klarifikasi dan pernyataan maaf dari penanggung jawab Tempo. Mereka juga ingin memastikan kejadian seperti ini tak akan terulang, bukan hanya untuk umat Katolik, tapi bagi umat beragama lainnya di Indonesia. Dimintanya pula agar edisi majalah itu ditarik dari peredaran. Sesuai tuntutan perwakilan umat Katolik, Tempo meminta maaf melalui Koran Tempo, Tempo Interaktif, dan majalah Tempo.

Ada juga kasus majalah Tempo dengan Polri, pada Juni 2010, Tempo menerbitkan edisi Juni - Juli 2010 dengan sampul berjudul Rekening Gendut Perwira Polisi yang menggambarkan seorang polisi sedang menggiring celengan babi. Edisi tersebut menceritakan beberapa jenderal polisi yang memiliki rekening berisi uang miliaran rupiah. Polri memprotes sampul tersebut dan meminta Tempo meminta maaf.



Pada 8 Juli 2010, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai di luar pengadilan. Pertemuan dimediasi oleh Dewan Pers dan berlangsung di Gedung Dewan Pers. Polri diwakili oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol. Edward Aritonang; Tempo diwakili oleh Pemred Tempo, Wahyu Muryadi.


2 komentar: