MEDIA PROFILE
MAJALAH TEMPO (MEDIA CETAK)
SEJARAH BERDIRINYA MAJALAH TEMPO
Majalah mingguan ini
terbit perdana pada April 1971, dengan berita utama mengenai cedera parah yang
dialami Minarni, pemain badminton andalan Indonesia di Asean Games Bangkok, Thailand. Dimodali Rp 20 juta oleh Yayasan
Jaya Raya milik pengusaha Ciputra; digawangi oleh mereka para seniman yang
mencintai pekerjaannya dan para wartawan berpengalaman yang dipecat atau keluar
dari tempat kerja sebelumnya: Ekspress, Kompas, dan lainnya.
Para seniman dan
wartawan itu adalah Goenawan Mohamad (Ketua Dewan Redaksi), Bur Rasuanto (Wakil
Ketua), Usamah, Fikri Jufri, Cristianto Wibisono, Toeti Kakiailatu, Harjoko
Trisnadi, Lukman Setiawan, Syu’bah Asa, Zen Umar Purba, Putu Wijaya, Isma
Sawitri, Salim Said, dan lainnya. Satu orang kepercayaan dari Yayasan Jaya Raya
juga turut serta mengelola Tempo, yaitu Eric Samola.
Mengapa bernama Tempo? Pertama, singkat dan
bersahaja, enak diucapkan oleh lidah orang Indonesia dari segala jurusan; kedua, terdengar
netral, tidak mengejutkan dan tidak merangsang;ketiga, bukan simbol
sebuah golongan, dan keempat, Tempo adalah waktu.
Tempo meniru Time? Benar Tempo meniru
waktu, selalu tepat, selalu baru. Kalimat ini diiklankan Tempo pada
terbitan 26 Juni 1971 guna menjawab surat seorang pembaca yang berkesimpulan
bahwa Tempo telah meniru Time. Kesimpulan
yang wajar melihat sepintas cover Tempo memang mirip Time: segi
empat dengan pinggiran merah. Bahkan, pada 1973, Time menggugat Tempo melalui
pengacara Widjojo, namun akhirnya dapat diselesaikan dengan damai.
Edisi pertama Tempo laku
sekira 10.000 eksemplar. Disusul edisi kedua yang laku sekira 15.000
eksemplar. Progress penjualan oplah ini menepis keraguan
Zainal Abidin, bagian sirkulasi Tempo,yang menganggap majalah ini
tidak akan laku. Selanjutnya, oplah Tempo terus meningkat
pesat hingga pada tahun ke-10, penjualan Tempo mencapai sekira
100.000 eksemplar.
Dalam perjalanannya,
terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh Tempo antara Goenawan
dengan Bur. Keduanya memiliki perbedaan ide dasar. Goenawan ingin Tempo bergaya
tulis feature (bercerita), sedangkan Bur cenderung ke news. Keduanya
pun sering berbeda paham dan saling bertolak pendapat. Puncaknya pada saat Bur
melemparkan air kopi ke arah Goenawan. Tindakan yang dianggap kelewatan oleh
Goenawan hingga dia meminta kepada Eric Samola untuk memutuskan, apakah dia
yang keluar atau Bur. Akhirnya Bur yang mengundurkan diri dari Tempo.
Tempo Go Public
Pada 6 Nopember
2000, Tempo menjadi media pertama yang masuk bursa saham (go
public). Nama PT Arsa Raya Perdana diganti menjadi PT Tempo Media Inti
supaya mudah dikenali. Pada penawaran perdananya, Tempo menawarkan
200 juta saham dan 100 juta warran guna maraup dana segar Rp
75 milliar.
Dana segar tersebut 60%
akan digunakan untuk mendirikan Koran Tempo, 25% untuk
pelunasan utang anak perusahaan, dan 15% untuk penambahan modal kerja. Kalau
semuanya berjalan lancar, Tempo juga berambisi untuk
mendirikan radio, televisi, dan kantor berita.
Setelah go public, komposisi
kepemilikan saham di Tempo berubah: PT Grafiti Pers: 16,6%,
Yayasan Jaya Raya: 24,8%, Yayasan 21 Juni 1994: 24,8%, Yayasan Karyawan Tempo:
16,6%, dan publik: 17,2%.
Pada 2 April 2001,
ketika umur Tempo menginjak 30 tahun, diterbitkanlah Koran
Tempo. Kehadiran Koran Tempo bertujuan untuk mengembalikan
prinsip-prinsip jurnalistik harian yang terabaikan: cepat, lugas, tajam, dan
ringkas. Nama Tempo sengaja digunakan pada Koran Tempountuk
meraih pangsa pasar. Koran Tempo berusaha meraih pembaca yang masih
terbuka lebar, bersaing dengan Kompas, Republika, dan Media
Indonesia. Hasilnya luar biasa, di Jakarta, Koran Tempo berhasil
menjadi peringkat kedua di bawah Kompas.
DATA TEKNIS
Dengan oplah cetak
180.000 eksemplar Majalah TEMPO kini menguasai 68% pasar majalah berita mingguan,
73% pembaca MAJALAH TEMPO sudah berkeluarga dengan 57.5% menghuni rumah milik
sendiri yang rata-rata mereka mapan secara ekonomi (65%). Segmentasi A1
golongan umur 35 – 55 th menempati posisi teratas dengan 63.000 pembaca dari
total 620.000 pembacanya. Sebagian besar dari mereka adalah profesional yang
menempati posisi sebagai eksekutif muda, pemilik perusahaan, CEO, dan Top
Management.
PROFILE
PEMILIK MAJALAH TEMPO
Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Batang, 29 Juli 1941; umur 74
tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka.
Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Ia merupakan adik dari Kartono Mohamad, seorang
dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.
Goenawan
Mohamad adalah seorang intelektual yang memiliki pandangan yang liberal dan
terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang
koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.
Pendiri dan
mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo, ini pada masa
mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut
menandatangani
Manifesto
Kebudayaan1964 yang
mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Ia menulis sejak
berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair
wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di
kelas 6 SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian
kakaknya yang dokter, ketika itu berlangganan majalah Kisah asuhan H.B Jassin. Goenawan yang
biasanya dipanggil Goen, belajar psikologi di Universitas
Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan menjadi Nieman Fellow di Harvard
University, Amerika Serikat. Goenawan
menikah dengan Widarti Djajadisastra dan
memiliki dua anak.
Karier GM,
panggilan singkatnya, dimulai dari redaktur Harian KAMI (1969-1970),
redaktur Majalah Horison (1969-1974),
pemimpin redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin
redaksi Majalah Swasembada (1985). Dan sejak 1971, Goenawan
bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah
majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia
banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa
kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada
waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia.Tempo dianggap
sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah, sehingga dihentikan
penerbitannya pada 1994.
Goenawan
Mohammad awalnya berharap bisa membangkitkan Tempo lagi
lewat PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia), di mana ia menjadi salah satu anggota. Setelah PWI yang
terkooptasi rezim Soeharto ternyata tak bisa diandalkan, Goenawan kemudian
mendukung inisiatif para jurnalis muda idealis yang mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan
Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan
terhadap dunia pers Indonesia. Ketika Majalah Tempo kembali
terbit setelah
Soeharto diturunkan
pada tahun 1998, berbagai
perubahan dilakukan seperti jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya.
Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan
menerbitkan surat kabar harian Koran
Tempo.
Setelah terbit
beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan Mei
2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohammad dan Koran
Tempo untuk meminta maaf kepada Tommy Winata. Pernyataan
Goenawan Mohammad pada tanggal 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan
pencemaran nama baik bos Artha Grahaitu.
Selepas jadi
pemimpin redaksi majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goenawan
praktis berhenti sebagai wartawan. Bersama musisi Tony Prabowo dan
Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tapi dalam
revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000).
Yang pertama dipentaskan di Seattle
(2000), yang
kedua di New
York. Pada tahun 2006, Pastoral,
sebuah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006. Pada
tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama tari Kali-Yuga bersama
koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut beserta Gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California. Dia juga ikut
dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa,
Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo,
Wisanggeni, (1995) dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002),
dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.
RATE CARD MAJALAH TEMPO
Harga
|
Diskon
|
|||
Rp. 78.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 126.500.000
|
20%
|
|||
Rp. 121.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 35.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 59.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 25.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 45.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 13.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 25.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 42.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 58.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 102.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 26.500.000
|
20%
|
|||
Rp. 32.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 140.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 82.500.000
|
20%
|
|||
Rp. 81.500.000
|
20%
|
|||
Rp. 93.500.000
|
20%
|
|||
Rp. 69.500.000
|
20%
|
|||
Rp. 90.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 115.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 144.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 316.500.000
|
20%
|
|||
Rp. 276.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 94.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 101.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 98.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 95.000.000
|
20%
|
|||
Rp. 23.500.000
|
20%
|
ANALISA MEDIA
Sejak
awal kemunculan, majalah Tempo ini sudah sangat mencuri perhatian masyarakat
dengan ciri khasnya yang lebih berani. Contohnya pada Tempo edisi 10 Februari 2008, sampul Tempo yang
bergambar mantan presiden Soeharto (almarhum) bersama anak-anaknya di meja
makan dinilai melecehkan simbol kudus umat kristiani, khususnya Katolik di
Indonesia. Gambar sampul berjudul Setelah Dia Pergi tersebut,
mirip format lukisan perjamuan terakhir Yesus pada murid-muridnya, yaitu The
Last Supper, karya Leonardo Da Vinci.
Sejumlah perwakilan
organisasi Katolik tingkat nasional mendatangi kantor Tempo di Jalan
Proklamasi, Jakarta Pusat. Mereka menilai lukisan sakral itu telah
dianalogikan Tempo dengan keluarga mantan penguasa Orde Baru,
yang di mata masyarakat berlumuran kasus KKN. Umat Katolik meminta klarifikasi
dan pernyataan maaf dari penanggung jawab Tempo. Mereka juga ingin memastikan
kejadian seperti ini tak akan terulang, bukan hanya untuk umat Katolik, tapi
bagi umat beragama lainnya di Indonesia. Dimintanya pula agar edisi majalah itu
ditarik dari peredaran. Sesuai tuntutan perwakilan umat Katolik, Tempo meminta
maaf melalui Koran Tempo, Tempo Interaktif, dan
majalah Tempo.
Ada juga kasus majalah
Tempo dengan Polri, pada Juni 2010, Tempo menerbitkan edisi Juni - Juli 2010
dengan sampul berjudul Rekening Gendut Perwira Polisi yang menggambarkan
seorang polisi sedang menggiring celengan babi. Edisi tersebut menceritakan
beberapa jenderal polisi yang memiliki rekening berisi uang miliaran rupiah.
Polri memprotes sampul tersebut dan meminta Tempo meminta maaf.
Pada 8 Juli 2010, kedua
belah pihak sepakat untuk berdamai di luar pengadilan. Pertemuan dimediasi oleh
Dewan Pers dan berlangsung di Gedung Dewan Pers. Polri diwakili oleh Kadiv
Humas Mabes Polri Irjen Pol. Edward Aritonang; Tempo diwakili oleh Pemred
Tempo, Wahyu Muryadi.
mntap! oh ia info ya om, situs pasang iklan lebih gampang di JBO om.
BalasHapusmenambah wawasan sekali kak makasih
BalasHapusberita juventus